Kenapa kita suka berhutang?
“pinjam dulu seratus”
Akhir-akhir ini kalimat pinjam dulu seratus menjadi buah bibir di kalangan penggiat media sosial. Betapa tidak, karena kalimat tersebut seolah-olah menggambarkan kegelisahan masyarakat terhadap oknum (sebut saja demikian) yang kerap meminjam uang kepada kawan dan kerabat.
Kenapa jadi Rp 100.000? Karena seratus ribu secara nominal itu dianggap tidak sedikit sehingga berharga ketika ditagihkan, juga tidak banyak sehingga yang berhutang merasa boleh nanti-nanti saja bayarnya.
Berdasarkan data dan informasi Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM Bank Indonesia yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia yang terbit Kamis, 16 September 2010 menyebutkan jika kontribusi terbesar pada ekspansi kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yaitu kredit konsumsi sebesar Rp 47,1 triliun (46,1%).
Selain itu, faktanya, masyarakat gen z ternyata lebih berpotensi banyak hutang daripada generasi lain. Berdasarkan dari data kepemilikan rekening dan jumlah outstanding pinjaman pada fintech P2P lending. Statistik Fintech P2P Lending (fintech pendanaan bersama) OJK pada Desember 2022 menunjukkan bahwa 62% rekening fintech pendanaan bersama dimiliki oleh nasabah usia 19–34 tahun. Tidak jauh dari angka tersebut, 60% pinjaman dari fintech pendanaan bersama juga disalurkan kepada nasabah usia 19–34 tahun (sikapiuangmu.ojk.go.id).
Menurut Suyatno dkk ( 2007) seseorang memerlukan kredit untuk memenuhi kebutuhannya sebab manusia adalah Homo economicus. Upaya pemenuhan kebutuhan manusia terkait dengan produksi, konsumsi dan distribusi sehingga ada kepentingan dari pihak produsen, konsumen juga pemerintah. Hutang membentuk keseimbangan antara tiga kepentingan yakni kepentingan pemerintah, kepentingan masyarakat (rakyat) dan kepentingan pemilik modal (pengusaha).
Manning (dalam Manara, 2011) menjelaskan bahwa sistem kredit dan hutang merupakan salah satu kebijakan sistem ekonomi kapital agar proses produksi dan konsumsi tetap berjalan. Secara umum, hutang dapat memberi manfaat positif bagi perekonomian, akan tetapi resikonya juga dapat menimbulkan problem tersendiri yakni ketika debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Hasil penelitian Cooke, Barkham, Audin, dan Bradley (2004) menunjukkan jika subjek dengan hutang yang tinggi mengalami kecemasan dan gugup serta sulit tidur jika dibandingkan dengan subjek yang memiliki hutang dengan jumlah yang lebih sedikit. Menurut Fitch, Simpson, Collard, dan Teasdale (2007) ternyata masalah kesehatan mental dialami oleh mereka yang memiliki hutang daripada yang tidak memiliki hutang.
Menurut penelitian Ajzen (1991) sikap terhadap perilaku berhutang berkaitan dengan pandangan individu mengenai hutang yakni:
- Sebagai kemudahan
- Peluang
- Tren
- Alternatif dalam pemenuhan kebutuhan
- dan upaya menambah kepemilikan
Kemudian norma subjektif mengenai dukungan individu dari kawan, rekan atau orang tua individu. Yaitu pandangan positif tentang hutang yang disebabkan karena:
- Desakan kebutuhan
- Gengsi di mata masyarakat mengenai hutang
- Munculnya empati dari sekeliling individu yang berhutang
- Dorongan dari pihak keluarga untuk berhutang
- dan izin dari keluarga untuk berhutang dengan syarat harus melunasi.
Kemudahan-kemudahan dalam berhutang turut mempengaruhi kebiasaan berhutang di Indonesia. Terlebih banyaknya ragam jaringan sosial yang dapat memberi pengaruh terhadap akses hutang. Berkaitan dengan akses hutang, Okten dan Osili (2004) melakukan survei mengenai bagaimana keluarga dan jaringan komunitas mempengaruhi akses seseorang terhadap hutang. Partisipasi terhadap komunitas meningkatkan familiaritas terhadap hadirnya sumber hutang yang baru. Komunitas sosial yang ada memungkinkan difusi pengetahuan mengenai kesempatan berhutang. Kondisi ini tentu sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk berhutang.
Penulis sendiri mendapati bahwa banyak pegawai negeri sipil di suatu daerah di Kalimantan Selatan, rata-rata 60–80% gajinya dipotong setiap bulan untuk membayar kredit hutang. Maka dari itu, sebagaimana yang diterangkan di atas bahwa semakin mudah akses seseorang berhutang maka semakin banyak kemungkinan ia terlilit hutang, serta didorong oleh norma-norma subjektif dan desakan kebutuhan konsumtif.
Agar silaturahmi tidak terputus, maka pinjam dulu seratus.